Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang akrab dipanggil KDM atau Kang Dedi Mulyadi oleh para pendukungnya, telah mengeluarkan kebijakan terkait pendidikan yang 'agak berbeda' dibandingkan dengan kepala daerah lainnya. Kebijakan tersebut mencakup pelatihan wajib di barak militer bagi 'siswa nakal' serta larangan bagi sekolah untuk memberikan PR kepada murid. Pada tanggal 1 Mei 2025, KDM mengirimkan 272 siswa yang dianggap bermasalah dari wilayah Bogor, Depok, hingga Cianjur untuk mengikuti pendidikan dengan pendekatan ala militer. Kebijakan yang diinisiasi oleh mantan Bupati Purwakarta ini ditujukan kepada peserta didik yang memiliki perilaku khusus, seperti terlibat tawuran, merokok, mengonsumsi alkohol, hingga penggunaan knalpot brong. Terdapat perdebatan pro dan kontra mengenai kebijakan tersebut. Komnas HAM termasuk pihak yang menolak karena berpendapat bahwa pendidikan siswa bukanlah tanggung jawab TNI, sementara Menteri HAM Natalius Pigai mendukung tindakan Dedi yang mengirim siswa-siswa yang sering melakukan pelanggaran dan tawuran ke barak militer untuk dibina dalam hal karakter, mental, dan disiplin. Belum selesai dengan urusan pengiriman siswa ke barak, KDM kembali mengeluarkan kebijakan baru di bidang pendidikan, yaitu penerapan jam malam untuk siswa. Guru dilarang memberikan pekerjaan rumah, dan jam masuk kelas ditetapkan pada pukul 06.30. Sebelumnya, mereka juga melarang kegiatan wisuda untuk kelulusan siswa dari TK hingga SMA. Peraturan mengenai jam malam ini meliputi larangan bagi pelajar untuk beraktivitas mulai pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB. "Mudah-mudahan para bupati dan wali kota sejalan dengan gubernur Jawa Barat," ujar Dedi yang dikutip dari siaran pers Humas Jawa Barat pada hari Jumat, 30 Mei 2025. Tidak berhenti di situ. Dedi juga melarang para guru di Jabar untuk memberikan PR kepada siswa-siswa mereka. "Hari ini kami mengeluarkan surat edaran, yang merupakan larangan bagi guru untuk memberikan PR kepada siswa-siswanya," ujar Dedi di Gedung Pakuan Bandung, Rabu, 4 Juni 2025, sebagaimana dikutip oleh Antara. Menurut Dedi, langkah ini diambil demi meningkatkan efektivitas belajar, karena selama ini PR yang dibawa pulang oleh siswa sering kali dikerjakan oleh orang tua mereka. "Saya ingin anak-anak di rumah dapat membaca buku dengan santai, mendengarkan musik, berolahraga, membantu orang tua mereka di warung, di toko, pergi ke sawah, atau ke kebun. Dengan demikian, mereka dapat menjadi lebih produktif," tambahnya. Tanggapan dari Pemerintah Pusat Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat, menegaskan bahwa pemberian pekerjaan rumah (PR) kepada siswa adalah tanggung jawab para pendidik. "Sebenarnya (pemberian PR) adalah bagian dari kewenangan pendidik, ya," ungkap Atip di Kampus UPI Bandung, pada hari Senin, 9 Juni 2025, sehubungan dengan pelarangan bagi guru-guru di Jawa Barat untuk memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada murid-murid mereka. Atip menjelaskan bahwa pemerintah daerah memang memiliki kesempatan untuk merumuskan kebijakan pendidikan, namun tetap harus berlandaskan pada regulasi yang ada, serta melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. Menurutnya, hal ini sangat penting dilakukan, mengingat pendidikan dasar dan menengah berada dalam kerangka kebijakan nasional yang telah diatur dalam undang-undang untuk dikerjasamakan dan menjadi tanggung jawab bersama antara pusat dan daerah. "Pemerintah daerah memang dapat merumuskan kebijakan di bidang pendidikan, tetapi tetap harus mengacu pada peraturan yang berlaku. Selanjutnya, harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam hal ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, karena hal tersebut juga diamanatkan oleh peraturan, harus ada koordinasi," ujarnya seperti yang dikutip oleh Antara. Lebih lanjut, Atip menyatakan bahwa keberadaan PR bukanlah keputusan yang dapat diambil secara seragam dari atas atau oleh pemerintah pusat. Mengingat, menurut Atip, setiap daerah, setiap sekolah, serta setiap pelajaran memiliki karakteristik yang berbeda dan harus disesuaikan dengan kebutuhan belajar siswa itu sendiri. Di mana guru yang mengajar siswa tersebut adalah pihak yang paling memahami. "Mengenai perlunya PR atau tidak, itu sebenarnya sangat bergantung pada kondisi masing-masing satuan pendidikan. Karena proses belajar di setiap sekolah dapat berbeda, maka guru sebagai pendidik adalah yang paling memahami kebutuhan siswanya," ujarnya. Ini Aturannya Dalam Pasal 50 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ayat 1 menyatakan bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah tanggung jawab Menteri. Ayat 2: Pemerintah menetapkan kebijakan nasional dan standar pendidikan nasional untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Ayat 3: Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Ayat 4: Pemerintah Daerah Provinsi melakukan koordinasi dalam penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga pendidik, serta penyediaan fasilitas untuk penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Ayat 5: Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas pengelolaan pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berfokus pada keunggulan lokal. Ayat 6: Perguruan tinggi menetapkan kebijakan dan memiliki otonomi dalam pengelolaan pendidikan di lembaganya. Ayat 7: Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan yang disebutkan dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Didukung oleh DPR Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menyatakan persetujuannya terhadap kebijakan yang tidak memberikan Pekerjaan Rumah (PR) kepada siswa di Jawa Barat, namun bukan berarti meninggalkan mereka tanpa pendidikan. Menurut Hetifah, penghapusan PR bagi siswa akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan lain di luar pembelajaran formal. "Oleh karena itu, anak-anak juga memerlukan waktu untuk melakukan aktivitas lain yang tidak langsung berkaitan dengan sekolah. Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada pendidikan di rumah," ungkap Hetifah kepada Antara di Bandung, pada hari Senin. Dia menambahkan, hal ini juga menjadi tantangan bagi orang tua untuk menciptakan pendidikan di rumah. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa sekolah sebaiknya memberikan tugas kepada orang tua siswa, bukan kepada siswa itu sendiri. "Di sini tantangannya, apakah orang tua dapat mengisi waktu dengan baik. Mungkin, mereka perlu diberikan tugas, bukan kepada anak-anak, tetapi kepada orang tua," ujarnya.