Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mempertimbangkan faktor historis dan politis dalam penentuan batas wilayah, termasuk dalam penentuan kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh-Sumatera Utara (Sumut). "Kementerian Dalam Negeri dalam menentukan batas wilayah dan alokasi teritori tidak hanya mempertimbangkan faktor geografis, seperti kedekatan wilayah, tetapi juga data-data historis, politis, serta data sosial dan kultural," ungkap Bima Arya di kantor Kemendagri di Jakarta, pada hari Senin. Bima menambahkan bahwa hal-hal tersebut juga dibahas dalam rapat lintas instansi yang berkaitan dengan penentuan batas wilayah, yang melibatkan Kementerian Pertahanan, Badan Informasi dan Geospasial, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, para sejarawan, dan pemangku kepentingan lainnya. Ia menjelaskan bahwa rapat tersebut dihadiri oleh semua pihak yang terlibat langsung dalam proses penentuan batas wilayah, penamaan kode, dan kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi rupa bumi secara nasional. "Dalam rapat hari ini, telah disampaikan data-data sebagai dasar untuk memutuskan secara final mengenai status empat pulau tersebut. Selain data yang sudah ada, kami juga mempelajari lebih dalam dan menemukan novum, atau data baru yang diperoleh melalui penelusuran Kementerian Dalam Negeri," jelasnya. Data baru tersebut juga telah disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kepada Presiden Prabowo Subianto. Meskipun demikian, Bima belum memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai data baru yang disampaikan kepada Presiden. Namun, ia menilai bahwa data tersebut sangat krusial dalam pengambilan keputusan terkait sengketa wilayah tersebut. Ia menyatakan bahwa data-data baru ini diperoleh melalui penelusuran yang dilakukan oleh tim dari Kemendagri. Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto segera mengambil keputusan mengenai polemik batas administrasi antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan empat pulau di wilayah perbatasan kedua daerah. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, dalam keterangannya di Kantor PCO, Jakarta, pada hari Senin, sebagai tanggapan terhadap perbedaan aspirasi yang muncul di antara kedua provinsi. "Presiden mengambil alih ini secara langsung dan dijanjikan akan segera diselesaikan," ujar Hasan Nasbi. Hasan menjelaskan bahwa dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kedaulatan wilayah sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Sementara itu, pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan administratif atas wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk pengelolaan pulau-pulau yang terletak dalam wilayah tersebut, tambah Hasan. "Dalam konsep negara kita, yang memiliki kedaulatan atas wilayah adalah pemerintah pusat, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah daerah hanya memiliki wilayah administrasi," tuturnya. Polemik mengenai batas wilayah administrasi antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yang telah berlangsung sejak tahun 1928 kembali mencuat setelah terjadinya perbedaan klaim pengelolaan atas empat pulau di kawasan perbatasan kedua provinsi tersebut. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 telah menetapkan bahwa empat pulau, yaitu Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, termasuk dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Tapanuli Tengah, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Singkil. Kebijakan ini telah memicu perbedaan aspirasi dari kedua pemerintah daerah, yang masing-masing merasa memiliki keterikatan historis dan administratif terhadap pulau-pulau tersebut.